Perjuangan pemuda pada masa penjajahan

Pendahuluan
Pada masa kolonial Belanda, rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan rakyat tersebut diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan rakyat. Sebagai rakyat kecil yang ditindas oleh penjajah, tentu rakyat Indonesia ingin memberontak, demikian pula para mahasiswa dan pemuda masa itu. Khususnya mahasiswa STOVIA yang berusaha mengadakan perlawanan dengan cara halus mengingat pertempuran fisik selalu mengalami kegagalan. Berangkat dari kesadaran dan kemauan untuk melawan, maka mulai muncul berbagai organisasi pergerakan.
Meskipun masing-masing organisasi memiliki asas dan cara perjuangan yang berbeda beda, mereka tetap mempunyai satu tujuan yaitu mencapai kemerdekaan.
Kebulatan tekad para pemuda untuk bersatu mencapai puncaknya dengan dicetuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Perasaan akan timbulnya nasionalisme bangsa Indonesia telah tumbuh sejak lama, bukan secara tiba-tiba. Nasionalisme tersebut masih bersifat kedaerahan, belum bersifat nasional. Penjajahan Belanda tidak lagi di lawan dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan politik. Disamping itu, dilakukan usaha memajukan pendidikan, meningkatkan ekonomi rakyat, dan mempertahankan kebudayaan. Seluruh rakyat diikutkan dalam perjuangan. Mereka berhimpun dalam berbagai organisasi. Masa pergerakan nasional di Indonesia ditandai dengan berdirinya organisasi-organisasi pergerakan


II.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah mengenai sejarah perjuangan pergerakan nasional pada masa 1908-1945, yaitu ?
1.      Bagaimana awal munculnya organisasi kepemudaan di tanah air ?
2.      Peristiwa apakah yang terjadi pada tahun 1928 ?
3.      Bagaimana proses terjadinya peristiwa rengas dengklok dan bagaimana rentetan persiapan kemerdekaan Republik Indonesia ?
4.      Ciri-ciri dan faktor-faktor apa sajakah yang menentukan keberhasilan perjuangan pada masa 1908-1945 ?
5.      Bagaimana jalannya sidang BPUPKI dan PPKI dan apakah dampak yang ditimbulkan dari peristiwa tersebut ?
III. Metode Penulisan
Makalah ini kami buat dengan mengembangkan pokok-pokok materi yang telah diberikan dan pengerjaan serta penulisannya berdasarkan referensi-referensi buku yang sesuai dengan topik makalah.Metodenya:
1.         Mengembangkan topik yang telah diberikan yaitu sejarah perjuangan Nasional pada masa 1908-1945
2.         Mengidentifikasi masalah
3.         Merumuskan tujuan
4.         Menyusun kerangka dengan mengembangkan bahan ajaran diskusi yang telah di berikan


IV.Pembahasan
A.     Awal Munculnya Organisasi Kepemudaan di Tanah Air
Peranan pemuda dalam perubahan selalu tercatat dalam sejarah setiap negeri. Termasuk di Indonesia, peran dan semangat pemuda telah muncul bahkan ketika jaman penjajahan Belanda. Ada banyak alas an yang melatarbelakangi munculnya pergerakan melawan Pemerintahan Hindia Belanda. Khususnya pergerakan pemuda pada masa Hindia Belanda dalam melawan Pemerintahan Hindia Belanda yang menyiksa dan merampas hak rakyat pribumi. 
Tetapi menurut Sartono Kartodiharjo, yang melatarbelakangi pergerakan pemuda melawan pemerintah Hindia adalah fase atau masa Kolonial Belanda di Indonesia. Pertama, fase kolonialisme VOC pada tahun 1602 sampai tahun 1799. Kedatangan Belanda di Indonesia pada mulanya bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang/berniaga. Akan tetapi pada tahun 1602, Belanda mendirikan organisasi perkumpulan kongsi dagang yang berlayar di wilayah Hindia Belanda yang bernama Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). 
Kongsi dagang ini awalnya didirikan untuk menyaingi Portugis dan Spanyol yang telah lebih dulu bercokol di nusantara. Namun, dengan hak octroi yang dimiliki VOC, lambat laun VOC seolah menjadi Negara yang berdiri di bawah Negara induknya, Belanda. Hal ini berimbas pada perilaku pemerintahan VOC yang semena-mena melakukan perluasan kekuasaan dengan mengadu domba penguasa local. Kekuasaan VOC menjadi awal kolonialisme di Indonesia. 
Fase kedua, adalah kolonialisasi konservatif tahun 1800 sampai 1811. Kolonialisme konservatif adalah masa setelah keruntuhan VOC, ketika pemerintahan diambil alih oleh Belanda. Di masa ini kita mengenal istilah kerja rodi atau kerja paksa yang dipopulerkan oleh pemerintahan Daendels. Proyek jalan Anyer – Panarukan, menjadi saksi kekejaman Belanda masa itu. 
Fase ketiga, adalah masa tanam paksa antara tahun 1816 sampai 1869. System tanam paksa merupakan system baru pemerintah Hindia Belanda untuk menutup kerugian financial negeri Belanda yang luar biasa parah akibat perang. Pada masa ini Hindia Belanda dipimpin oleh Ven Den Bosch. System tanam paksa merupakan ekspolitasi besar-besaran yang dilakukan pemerintahan Hindia Belanda. Tanah mereka direbut secara paksa, rakyat jelata ditekan untuk bekerja dengan upah yang minim, bahkan juga tanpa upah. 
Terlebih untuk kegiatan ekspor, rakyat pula yang mendapat beban pajaknya. Fase keempat, adalah system colonial liberal liberal yang diterapkan tahun 1870 sampai 1900. Di masa ini muncul pemikiran Trias Van Deventer yang meningingkan adanya politik balas budi untuk bangsa pribumi. Salah satu hal yang ditekankan adalah masalah pendidikan peribumi. Mulai masa ini pribumi diijinkan mengeyam bangku pendidikan. Meski demikian, hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melanjutkan hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Fase kelima, adalah masa antara 1900 – 1942. Pada masa ini perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan bebas berkembang sehingga ada system administrasi yagn digagas untuk pembangunan departemen-departemen. Dalam pemerintahan peran pejabat pribumi-pribumi mengalami banyak peningkatan. 
Fase-fase tersebut dinilai Sartono Kartodiharjo, menjadi latar belakang munculnya pergerakan pemuda. Berawal dari kesadaran akan penderitaan rakyat selama tiga abad di bawah kaki Belanda, kemudian munculnya kaum terpelajar, hingga pada abad ke-20 di Indonesia mengalami keadaan yang disebut Zaman Kemajuan. Disebut demikian, karena segala bidang yang ada mulai maju, terutama dalam bidang pendidikan. Sebagai contoh, didirikan sekolah yang diperuntukkan bagi kaum wanita yang bernama Hoofdenschool, kemudian Sekolah Dokter Jawa (STOVIA). Pada abad ini juga berdiri beberapa organisasi kepemudaan sebgai berikut :



a.     Boedi Oetomo
Budi Utomo berdiri pada tahun 1908 yang pada awal mula berdirinya merupakan organisasi pelajar yang ruang lingkupnya masih kedaerahan, namun pada perkembangannya berubah menjadi organisasi perkumpulan pemuda nasional.
Budi Utomo lahir dari inspirasi yang dikemukakan oleh Wahidin Soediro Husodo disaat beliau sedang berkeliling ke setiap sekolah untuk menyebarkan beasiswa, salah satunya STOVIA. Sejak saat itu, mahasiswa STOVIA mulai terbuka pikirannya dan mereka mulai mengadakan pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan STOVIA oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabatpangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.
Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa mereka membutuhkan sebuah organisasi untuk mewadahi mereka, seperti halnya golongan-golongan lain yang mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan mereka seperti Tionh Hwa Hwee Kwan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum Pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.
Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan
ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.
Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja karena, menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.
b.     Tri Koro Dharmo
Trikoro Dharmo adalah sebuah perkumpulan pemuda yang berasal dari Jawa pada tahun 1915 di gedung kebangkitan nasional. Organisasi ini kemudian mengubah nama menjadi Jong Jawa pada kongres di Solo. Arti definisi / pengertian dari tri koro dharmo adalah Tiga Tujuan Mulia.Para pelajar Jawa waktu itu diwajibkan mengenakan jarik (kain) dan udheng (ikat kepala).Di atas udheng itu dikena-kan topi berlambang kedokteran.Suatu pemandangan yang menggelikan, karenanya calon-calon dokter yang biasanya berasal dari kalangan priyayi itu dicemoohkan orang sebagai "kondektur trem".Satiman berjuang agar para pelajar dapat mengenakan "pakaian bebas".Dalam praktek itu berarti hak untuk berpakaian sebagai orang Barat.Sesudah lama dipertim-bangkan, akhirnya direktur STOVIA memutuskan untuk meluluskan permohonan itu, terutama karena ternyata pakaian Barat agak lebih murah daripada pakaian Jawa. Dengan sendirinya waktu itulah kaum elit yang baru muncul dan berpendidikan baik itu di masa studi dan sesudahnya mulai membedakan diri secara lahiriah dari orang-orang setanah airnya dengan menggunakan gaya pakaian si penjajah. Para pelajar STOVIA itu adalah orang-orang yang sadar akan kelas dan statusnya, dan antara sesamanya mereka berbicara Belanda. Ini tidak berarti bahwa rnereka mencampakkan budaya Jawa.Satiman justru ingin menghidupkan kembali budaya itu. Tang-gal 7 Maret 1915 bersama dengan Kadarman dan Soenardi ia mendirikan Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) yang men­jadi pendahulu Jong Java. Yang menjadi anggota pertamanya adalah lima puluh pelajar STOVIA, Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sari (Weltevreden), dan Koningin Wilhelmina School (KWS).
c.      Organisasi Jong Java
Sejak Budi Utomo beralih tangan dari golongan muda ke golongan tua pad Kongresnya yang  pertama tanggal 5 oktober 1908, telah lahir rasa ketidakpuasan di kalangan generasi muda. Ketidakpuasan itu didasarkan pada gerak langkah Budi Utomo yang cenderung konservatif dan kurang menampung aspirasi pemuda. Atas dasar itu para pemuda ingin memiliki perkumpulannya sendiri, tempat para pemuda dapat dididik secara pemuda untuk memenuhi kewajibannya di kelak kemudian hari.
Sebagai realisasi dari keinginan mereka itu, pada tanggal 7 Maret 1915 sejumlah pemuda berkumpul di Gedung Budi Utomo Gedung Stovia Jakarta. Mereka sepakat untuk mendirikan suatu organisasi pemuda yang berfungsi sebagai tempat latihan bagi calon-calon pemimpin bangsa atas dasar kecintaan pada tanah airnya. Dan memang akhirnya mereka berhasil mendirikan sebuah perkumpulan pemuda yang diberi nama Tri Koro Dharmo yang berarti Tiga Tujuan Mulia. Pada saat itu yang terpilih sebagai ketua utama adalah Satiman Wiryosanjoyo dan Soenardi, yang kemudian dikenal sebagai Mr.Wongsonegoro menjadi wakil ketua. Sementara itu pemuda Soetomo yang dahulu menjembatani lahirnya Budi Utomo terpilih menjadi sekertaris. Anggota pengurus lainnya diantaranya adalah Muslich, Musodo dan Abdul Rachman.
Meskipun Tri Koro Dharmo bersifat nasional, dalam arti bahwa organisasi ini memiliki kesadaran Indonesia, anggotanya masih terbatas dalam etnisitasnya saja, yakni murid-murid sekolah menengah yang berasal dari Jawa Tengan dan Jawa Timur saja. Jadi organisasi ini masih bersifat Jawasentris. Itulah sebabnya muncul  reaksi dari para pemuda yang berasal dari etnis lain,misalnya pemuda Sunda dan Bali. Mereka tidak mau masuk dalm organisasi ini.
Dengan adanya reaksi demikian, Satiman Wiryosanjoyo memberikan penjelasan bahwa organisasi Tri Koro Dharmo membatasi cakupan etnisitasnya hanyalah untuk sementara waktu. Pada masa selanjutnya organisasi ini akan dapat dijadikan perkumpulan bagi pemuda-pemuda seluruh Indonesia. Tujuan kelahiran Tri Koro Dharmo adalah untuk mengikat tali persaudaraan dengan suku-suku bangsa lainnya demi memperkokoh persatuan rakyat Indonesia. Usaha itu dapat ditempuh melalui penyebaran pengetahuan masyarakat dan memperdalam perhatian terhadap seni budaya.
Pada tanggal 12 Juni 1918 Tri Koro Dharmo mengadakan kongresnya di Solo. Pada saat itu, Satiman Wiryosanjoyo sudah tidak menjadi ketua lagi, kerena sejak tahun 1917, kedudukannya telah diganti oleh Sutardiaryodirejo. Satiamn kemudian diangkat menjadi ketua kehormatan. Kongres ini menghasilkan dua keputusan penting yaitu tentang ruang lingkup keanggotaan dan nam organisasi serta mengenai kepengurusan.
Nama organisasi Trikooro Dharmo diganti dengan Jong Java. Dengan perubahan nama itu diharapkan pemuda Sunda, Madura, Bali, dan Lombok dapat ikut memasuki organisasi ini. Tujuan organisasi diubah dengan hasrat membangun persatuan Jawa Raya. Hal itu bias dicapai dengan jalan mengadakan suatu ikatan yang baik diantara murid-murid sekolah menengah, berusaha meningkatkan kepandaian anggota dan menimbulakan cinta akan budaya sendiri. Perubahan nama dari Trikoro Dharmo ke Jong Java ternyata tidak banyak membawa perubahan wajah organisasi ini. Hal itu dikarenakan asas budaya Jawa Raya lebih banyak di samakan dengan membangun budaya Jawa Tengah. Dalam kongres itu dipilih ketua Sukiman Wiryosanjoyo, seorang tokoh muda yang kemudian terpilih sebagai Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda.
Sampai pada kongresnya yang terakhir di Semarang pada tanggal 23 Desember 1929, Jong Java berhasil mengadakan kongres sebanyak sepuluh kali. Dalam kongres-kongresnya itu telah berhasil diambil sejumlah keputusan penting yang bermanfaat bagi perjuangan pemuda Indonesia pada masa selanjutnya. Keputusan-keputusan itu yaitu pertama, disetujuinya seorang perempuan duduk dalam pengurus besar dan anggota redaksi dalam majalah Jong Java, serta usaha untuk menerjemahkan surat-surat yang pernah di tulis oleh Kartini. Keputusan itu merupakan indicator adanya pengakuan bahwa hak wanita sama denagn pria sebagai kelanjutan usaha emansipasi wanita. Kedua, dalam kongresnya yang ketiga, bahasa-bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Bali, dan Makasar dapat digunakan asal disertai terjemahan dalam bahasa Belanda. Ketiga, adanya cita-cita untuk membangun Jawa Raya, yakni dengan jalan membina persatuan diantara golongan-golongan di Jawa dan Madura untuk mencapi kemakmuran bersama. Sekalipun masih terbatas pada Jawa, hal itu merupakan bibit awal bagi terbentuknya integrasi bangsa. Ikatan-ikatan suku di Jawa mulai dipersatukan dengan ikatan territorial, yaitu pulau Jawa.
Sejak berdirinya organisasinya ini, jika dilihat dari tujuan dan aktifitasnya organisasi ini bukanlah organisasi politik. Ada juga keinginan beberapa anggotanya untuk memperluas tujuan dan ruang gerak organisasi ini agar tidak hanya dalam masalah social budaya saja melainkan juga bergerak dalam bidang politik. Namun demikian, dalam kongresnya pada bulan Mei 1922 dan kongres luar biasa bulan Desember tahun yang sama dipertegaslah garis perjuangannya, bahwa Jong Java tidak akan mencampuri aksi atau propaganda politik. Jong Java hanya mengadakan hubungan antara murid-murid sekolah menengah, mempertinggi perasaan untuk budaya sendiri, menambah pengetahuan umum dari anggotanya dan menggiatkan olah raga.
Usul aktivitas Jong Java untuk bergerak dalam politik terlihat dalam Kongres IV di Yogyakarta pada tahun 1924. Pada saat itu Agus Salim, seorang tokoh Serikat Islam berpidato dengan judul Islam dan Jong Java. Disebabkan oleh pidato itu, ketua Jong Java Samsurijal (Raden Sam) mengajukan dua usul  penting yaitu agar anggota-anggota yang berumur lebih dari 18 tahun diijinkan dalam aksi-aksi politik,dan perlu memasukkan program memajukan Islam dalam organisasi Jong Java. Kedua usul tersebut ditolak,dan kongres kemudian memutuskan Jong Java tetap tidak berpolitik dan netral terhadap agama. Akibat ditolak usul-usulnya, Raden Sam kemudian menyatakan diri keluar dari Jong Java dan mendirikan organisasi pemuda lain yakni Jong Islamiaeten Bond.
Setelah adanya kongres pemuda I tahun 1926, yang para anggota organisasi ini juga ikut, paham persatuan dan kebangsaan Indonesia semakin meningkat dikalangan anggotanya. Hal itu berakibat pada perubahan tujuan dan ruang gerak dari organisasi Jong Java ini pada masa selanjutnya. Dalam kongres VII tanggal 27-31 Desember 1926 di Surakarta, dibawah ketuanya Sunardi Djaksodipuro (Mr. Wongsonegoro) ditekankan mengenai perubahan tujuan dan ruang gerak organisasi. Tujuan Jong Java seharusnya tidak hanya terbatas untuk membangun cita-cita Jawa Raya saja, tetapi pada saatnya juga harus bercita-cita persatuan dan Indonesia merdeka. Kongres kemudian mengambil keputusan bahwa anggotanya yang berumur lebih dari 18 tahun boleh mengikuti rapat-rapat politik, sedangkan mereka yang dibawah umur itu hanya boleh mengikuti kegiatan-kegiatan dalam seni, olah raga dan kepanduan. Dengan demikian, sejak saat itu Jong Java telah memasuki babak baru, yakni secara resmi memasuki gelanggang politik. Sikap Jong Java terhadap perlunya persatuan khususnya dalam kalangan pemuda akan terlihat kemudian menjelang sumpah pemuda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

degree of comparison

Keunggulan taman safari prigen

past tense